Oleh: Anisa Titisari
Menulis dengan tema Food Street sebenarnya adalah hal sulit karena saya tak cukup mampu dalam menganalisa sejarah dan atau perkembangan “Makanan Jalanan” terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Saya hanya bisa teringat pada beberapa kejadian kecil dalam hidup saya tentang shot-shot pinggir jalan ini. Mungkin akan sedikit membosankan, tapi biarlah. Saya akan bercerita.
Saya punya seorang sahabat perempuan di bangku sekolah atas. Saat itu, karena alasan tertentu, saya nekat berjalan kaki ke rumah sahabat saya dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam. Saya ingat betul, Gedong Kuning-Gowok yang hanya 15 menit dengan berkendara, mendadak jadi jalan terpanjang yang saya lewati siang itu. Sudah ¾ perjalanan, terik matahari, debu, dan hawa-hawa jahat yang berkeliaran di jalanan seketika dirampas habis oleh tukang es cendol yang mangkal di perempatan. Keberadaan beliau begitu mulia kala itu. Dengan gerobaknya yang mentereng dari kejauhan, yang padahal hanya gerobak biasa berlapiskan lempengan alumunium bertuliskan “Es Cendol” dengan tinta merah, si Abang cendol asik leha-leha di bawah pohon sambil menunggu pembeli yang rata-rata wajahnya seperti habis kena jepret ketapel bocah SD. Ah, apa jadinya kalau di dunia ini tidak ada oase berwujud es cendol hijau dengan lelehan gula jawa yg diberi sepucuk buah nangka itu?
Maju lagi beberapa tahun setelahnya, waktu itu bulan puasa. Dua orang teman pria saya datang jauh-jauh dari Bandung melancong ke rumah saya di Jogja minta diantarkan ke Malioboro dan Taman Sari. Ingat bulan puasa, ingat – katanya – setan-setan di kerangkeng. Bukan di kerangkeng, melainkan setan dengan lihainya berubah wujud menjadi minuman teh dingin dalam botol yang butiran-butiran kinclong airnya mengelilingi permukaan botol saat berjalan menyusuri kawasan Malioboro. Selain setan, begitu tiba di Taman Sari, ada pula jin yang membawa kawanan satu kompi, kompak berubah menjadi uap dari kuah bakso panas yang (sialnya) sudah menjalar sampai ke lubang hidung. Belum lagi ketika mengelilingi kawasan itu, ada sepasang suami istri yang lagi-lagi menjadi setan berparas “Jangan Tempe Lombok Ijo” yang tertata rapi berjejer dengan tempe goreng yang baru saja matang, sambal terasi, bakwan jagung dan nasi hangat. Tak lupa kaleng kerupuk menggantung di pojok gerobak. Alamak.
Ibarat wanita, Street Food adalah biduan. Menggoda iman. Seperti saat Anda lewat kawasan Pasar Kembang. Berjajar rapi, hampir di sepanjang jalan dan siap dicicip. Bedanya, “Makanan Jalanan” ada di mana-mana, tidak hanya dalam satu kawasan saja. Di dekat rumah, sekolah, di seberang kantor, atau bahkan saat Anda pergi beli obat ke warung. Daya pikat “Makanan Jalanan” terlalu sulit untuk diabaikan. Dengan rupawan Anda bisa tiba-tiba terserang lapar akut akibat mencium aroma sate ayam yang sedang dibakar, padahal seperempat jam yang lalu baru saja menghabiskan Nasi Padang. Atau bahkan yang lebih parah lagi, saya sering mengalaminya, air liur dengan tidak sopan menjadi liar berimaji gara-gara membaca tulisan “Mie Ayam Bakso & Es Campur”. Moment-moment kecil yang menarik itu malah terkadang diperkuat dengan kejadian tak terduga. Pernah berteduh di warung Pecel Lele sambil nunggu ujan bareng pacar? Sepele. Tapi efeknya dahsyat.
Keberadaan Street Food yang terlalu dekat ini, mau tak mau memberi ruang kenangan tertentu. Anggap saja seperti punya buku diary. Anda bisa kapan saja melancong ke halaman-halaman tertentu yang Anda mau. Saya sengaja mendatangi area sekolah karena ingin mundur beberapa waktu. Tujuannya, mengenang dan mengulang kejadian saat saya berebut minta ‘dijualin’ oleh abang penjual Cakwe dan Salome (bakso yang di tusuk lalu diberi saos atau kecap) pas pulang sekolah. Memory travelling, bahasa kerennya. Maka jangan heran kalo tiba-tiba sekarang saya tersenyum simpul lalu bergegas ikut masuk berebut bersama anak-anak.
Bekas-bekas kenangan itulah yang menjadikan kuliner zona Street Food tidak bisa dibandingkan dengan zona lainnya. Ada titik dimana bukan masalah harga, kualitas produk yang dijajakan, kenyamanan tempat hingga pelayanan yang super nyaman. Yang dipertaruhkan adalah memori, hal yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Lagi-lagi hal yang saya pelajari dari makanan adalah kebahagiaan. Hanya dengan mengulang satu scene yang sama, dampak yang ditimbulkan adalah kepuasan yang tak bisa ditukar. Ya hanya dengan ikut membeli Siomay yang dibungkus kemudian digigit ujungnya baru dimakan itulah, kita benar-benar tau bahwa makanan tak melulu soal rasa yang lezat serta gizi yang seimbang. Bahwa kenikmatan sebuah produk makanan sejatinya tak bisa diukur. Bahwa para penilai makanan yang “sempurna” hanya ada dalam kontes masak.
Hingga belum lama ini, di tempat saya bekerja. Seperti biasa, sepulang kerja, saya menyempatkan untuk singgah ke warung makan. Sepiring pecel ayam lengkap dengan sambal dan lalapan kemangi yang unbeatable itu sangat pintar bikin perut saya tiba-tiba menggembung kekenyangan. Itu pun ketika pulang, saya masih tak bisa mengelak untuk membeli sebungkus batagor yang kulit crispy nya terlihat mengkilat dari balik kaca gerobak. Tak perlu repot, motor dengan cepat sudah terparkir di depan gerobak. Tangan penjual batagor pun dengan cekatan mengangkat gorengan, memotong, memasukkannya ke dalam plastik dan bilang, “Pake sambel nggak, Neng?”. Hari itu bukanlah hari istimewa. Sama melelahkannya dengan hari-hari sebelumnya. Namun sebungkus batagor di tangan, sudah sangat cukup menjadi penutup hari yang sempurna.